BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka negara berkewajiban
melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana,
terpadu dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin
perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1]
Pembangunan hukum di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, yang mana
sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan menyeluruh terhadap
model hukum yang dibentuk sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan menciptakan
keadilan serta kepastian hukum. Akibatnya, hukum yang dihasilkan lebih banyak
berjalan tidak efektif, karena hukum tersebut dirasa oleh masyarakat tidak
mencerminkan aspirasi mereka. Berbagai
faktor memengaruhi produk hukum di Indonesia dianggap lebih bersifat represif (menindas) dibandingkan responsif.
Bahwa proses
legislasi dengan produk perundang-undangan bukanlah proses yang steril
dari kepentingan politik karena ia merupakan proses politik. Bahkan
implementasi perundang-undangan tersebut dikenal dengan sebutan “penegakan
hukum” atau “law enforcement”, juga tidaklah
selalu steril dari pengaruh politik.
Pengaruh
politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak
dapat terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah.
Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik paling sedikit harus
memiliki empat landasan, yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, landasan
sosiologis serta landasan ekologis.[2]
Dalam hal ini,
pemerintah sebagai lembaga resmi yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk
membentuk undang-undang harus jeli melihat permasalahan atau problematika
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berulang kali berada pada titik
permasalahan yang sama. Bagaimanapun pemerintah memiliki tanggung jawab besar
dalam melindungi hak asasi manusia umumnya, hak asasi warga negaranya secara
khusus. Besar harapan warga negaranya untuk terciptanya rasa keadilan di
tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat tunduk
secara sukarela terhadap aturan yang dibuat oleh penguasa.
Pada tanggal 12 Agustus 2011, melalui
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No. 82 diundangkannya UU No. 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggantikan
UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Apabila
kita soroti pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang isinya
mengenai jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas:[3]
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan
Pemerintah
e. Peraturan
Presiden
f. Peraturan
Daerah Provinsi dan
g.Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Maka yang dapat kita lihat adalah
bahwa terdapat tiga hal yang berubah apabila kita bandingkan dengan jenis
hirarki Peraturan Perundang-undangan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (1) UU
No. 10/2004 yaitu masuknya kembali Ketetapan MPR, Peraturan Daerah yang
memiliki tingkatan antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang pada undang-undang sebelumnya adalah sejajar, serta yang
terakhir dihapuskannya Peraturan Desa dari Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia yang sebelumnya peraturan desa tercantum dalam pasal 7 ayat (1)
sebagai bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan. Secara hirarki, maka
secara tidak langsung terkait dengan persoalan rugulasi dan implementasi
otonomi daerah. Persoalan ini tentu menjadi masalah.
Suatu hal yang baru dalam UU No.
12/2011 adanya peraturan lain dari jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni
mencakup peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MK, BPK, KY, BI, Mentri, Badan,
Lembaga, atau komisi yang setinggkat yang dibentuk dengan undang-undang. DPRD
Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat. Kedudukan dan kekuatan hokum dari peraturan yang dibentuk oleh
lembaga-lembaga/instansi diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Dari berbagai masalah
yang ada, lalu kemudian mendorong penulis untuk mengkaji dan meneliti lebih
jauh dalam karya tulis ini yang mungkin akan memberikan pengetahuan yang baru bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Adapun karya tulis yang penulis buat berjudul: “IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
TENTANG UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lingkup
Pengertian Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam UU 1945, tidak terang apa lingkup
batasan pengertian undang-undang. Pasal 20 UUD 1945 hanya menyebut kewenangan
DPR untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama dengan pemerintah.
Pasal 24C ayat (1) hanya menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenanng
menguji undang-undnag terhadap UUD.
Undang-Undang dalam arti sempit adalah “legislative
act” atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan
lembaga eksekutif, Dalam arti luas undang-undang dapat dipahami
sebagai naskah hukum, yang menyangkut materi dan bentuk
tertentu.[4] Yang
membedakan sehingga naskah hukum tertulis tersebut disebut sebagai “legislative
act” bukan “executive act”adalah karena dalam pembentukannya,
peranan lembaga legislatif sangat menentukan keabsahan materiil peraturan yang
dimaksud.
Mengenai regulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
pengaturan. Regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa
peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan
suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang, dan mengikat umum.[5] Ruang lingkup
peraturan perundang-undangan telah ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebelum direvisi kedalam UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1). Dalam Pasal 7
Ayat (1) disebutkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan
Presiden, serta Peraturan
Daerah.[6]
Ada beberapa
tolak ukur dalam menilai apakah peraturan perundang-undangan baik atau tidak.
Tolak ukur atau indikator diperlukan untuk menemukan jawaban permasalahan dalam
meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan. Menurut Zamrony, tolak ukur
bagus tidaknya suatu produk hukum dapat dilihat dari beberapa aspek, antara
lain:[7]
1. Partisipasi publik dalam proses legislasi
2. Merepresentasikan kepentingan public
3. Tingkat efisiensi anggaran dan tingkat
efisiensi waktu
4. Dapat disesuaikan (harmonisasi dan
sinkronisasi) dengan produk hukum di lain sektor (lintas sektoral)
5. Tidak mengandung cacat hukum
6. Bertahan dalam jangka waktu yang lama karena
tidak banyak digugat substansi isinya.
Pendapat lain
yang juga penulis kutip adalah pendapat Syahrul, menurutnya banyak hal yang
terlupakan dalam menghasilkan sebuah produk hukum yang baik, yaitu:[8]
1. Azas
Kepastian Hukum
Selama ini kita lihat bagaimana komentar
masyarakat awam tentang hukum itu sendiri bahwa Hukum hanya diperuntukkan bagi
mereka yang awam, sedangkan golongan tertentu dalam masyarakat dengan bebasnya
mereka melanggar, bahkan mereka dapat memesan klausul-klausul tertentu untuk
melindungi kepentingan mereka, artinya kepastian hukum itu hanya berlaku bagi
mereka yang awam tentang hukum.
2. Azas Manfaat
Merujuk komentar pertama di atas, sebaliknya
hukum itu hanya bermanfaat bagi mereka yang memiliki kepentingan dengan
aturan yang akan diberlakukan.
3. Azas Keadilan
Keadailan
di sini bukan adil bagi golongan tertentu, tetapi
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Berbagai cara dapat ditempuh agar
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dicapai. Selain
berlandaskan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan.Peningkatan
kualitas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan
hal-hal sebagai berikut:[9]
1.
Kajian yang baik
2.
Pemahaman
tentang materi muatan peraturan perundang-undangan
3.
Pemahaman
tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
4.
Peran serta
masyarakat
5.
Harmonisasi dan Sinkronisasi
6.
Pemakaian
bahasa yang tepat
7.
Substansi
Peraturan Perundang-undangan
Dan beberapa hal di atas akan
penulis jelaskan di bawah ini:
1. Landasan, Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan
Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
Pengujian peraturan
perundang-undangan yang diajukan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
kebanyakan terjadi karena alasan peraturan perundang-undangan tersebut tidak
sesuai dengan landasan dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik,
begitu juga dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan aturan yang lebih tinggi dan tidak mencerminkan nilai keadilan dalam
masyarakat.
Menurut Bagir
Manan, ada 3 (tiga) landasan dalam menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu:
landasan yuridis, landasan filosofi, dan landasan sosiologis.[10]
Disamping itu menurut Jimly Asshiddiqie ada 5 (lima) landasan pembentukan
peraturan perundang-undangan, yakni:[11]
1. Landasan filosofis
Undang-undang
selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh
suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara
hendak diarahkan.
2. Landasan Sosiologis
Setiap norma
hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan
kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas
kesadaran hukum masyarakat.
3. Landasan Politis
Dalam
konsiderans harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut
cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber
kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan
undang-undang yang bersangkutan.
4. Landasan Yuridis
Dalam
perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis haruslah ditempatkan dalam
konsiderans “ mengingat.”
5. Landasan Administratif
Dasar ini
bersifat fakultatif sesuai dengan kebutuhan, terdapat dalam konsiderans dengan
kata “ memperhatikan”. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya
perintah untuk mengatur secara administratif.
Asas-asas
formil pembentukan peraturan perundang-undangan:[12]
a.
Kejelasan
tujuan
b.
Kelembagaan
atau pejabat pembentuk yang tepat
c.
Kesesuaian
antara jenis, hierarki dan materi muatan
d.
Dapat
dilaksanakan
e.
Kedayagunaan
dan kehasilgunaan
f.
Kejelasan
rumusan
g.
Keterbukaan
Sedangkan asas
materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:[13]
a. Pengayoman
b. Kemanusiaan
c. Kebangsaan
d. Kekeluargaan
e. Kenusantaraan
f. Bhinneka Tunggal Ika
g. Keadilan
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan
i.
Ketertiban dan
kepastian hokum
j.
Keseimbangan,
keserasian dan keselarasan
Meskipun
secara teori dan peraturan perundang-undangan telah mengatur secara tegas
mengenai landasan dan asas peraturan perundang-undangan yang baik, namun tidak
jarang kita temui adanya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
asas peraturan perundang-undangan yang baik. Alhasil, bermunculan gugatan
pengujian formil maupun materil terhadap peraturan perundang-undangan yang
telah disahkan dan diundangkan oleh pemerintah.
2. Kajian
Penelitian atau Naskah Akademik
Mengutip
pendapat Zamrony sebelumnya, yang dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya peraturan
perundang-undangan, diantaranya: partisipasi publik dalam proses legislasi, merepresentasikan
kepentingan publik, dapat disesuaikan (harmonisasi dan
sinkronisasi) dengan produk hukum di lain sektor (lintas sektoral), bertahan
dalam jangka waktu yang lama karena tidak banyak digugat substansiisinya. Maka
untuk mencapai tolak ukur ini dapat dilakukan melalui naskah akademik.
Berdasarkan
Pasal 1 Angka 11 UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa naskah akademik, yaitu
:
“Naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat.”
Pada UU No. 10
Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, naskah akademik
tidak merupakan suatu keharusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun, dengan digantinya UU No. 10 Tahun 2004 dengan UU No. 12 Tahun 2011, maka
naskah akademik merupakan suatu keharusan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, kecuali dalam peraturan tertentu. Sebagaimana yang diatur
pada Pasal 43 Ayat (3) :
“Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
DPR, Presiden atau DPD harus disertai dengan Naskah Akademik”.
Ayat (4), berbunyi :
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai”:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
b. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Menjadi Undang-Undang
c. Pencabutan Undang-Undang atau Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Dengan adanya
naskah akademik dari setiap rancangan undang-undang diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai hasil penelitian ilmiah yang akan mendasari RUU yang kelak
akan diajukan dan dibahas di DPR. Naskah akademik memperlihatkan, bahwa suatu
rancangan undang-undang tidak disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang
mendadak atau bukan dari pemikiran yang mendalam. Melainkan dari
penelitian yang mendalam dan perenungan yang matang.
Naskah akademik juga berperan sebagai alat kontrol dalam menentukan
kualitas suatu produk hukum dan akan memberi arah kepada pemangku kepentingan
dan perancang dalam mengambil kebijakan dan acuan untuk dapat menentukan apa
yang akan diatur dan diterjemahkan kedalam kalimat hukum. Namun, praktiknya selama ini naskah akademik terkadang
hanya dijadikan pesanan belaka dan syarat formil dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, sehingga naskah akademik yang dibuat tidak hasil kajian
penelitian yang mendalam. Wajar sekiranya, rancangan undang-undang yang dibuat
tidak maksimal sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3. Partisipasi
Publik/ Peran serta masyarakat
Berdasarkan
Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011, masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana
masukan tersebut dapat dilakukan melalui:
a. Rapat dengar pendapat umum
b. Kunjungan kerja
c. Sosialisasi
d. Seminar, lokakarya dan diskusi
Melalui
partisipasi publik diharapkan peraturan perundang-undangan akan memiliki
kelebihan dalam hal efektifitas keberlakuan di dalam masyarakat. Selain itu, partisipasi
juga memberikan legitimasi atau dukungan politik dari masyarakat terhadap
pembentukan peraturan perundang-undangan. DPR sebagai lembaga yang memegang
fungsi legislasi dituntut untuk membuka pintu yang seluas-luasnya bagi
partisipasi masyarakat.
4. Harmonisasi
dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan
Salah satu
yang dapat dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya kualitas peraturan
perundang-undangan adalah harmonisasi dan sinkronisasi pembentukan peraturan
perundang-undangan.Harmonisasi menurut Moh.
Hasan Wargakusumah,[14] harmonisasi
dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan
pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan
(justice), kesebandingan (equity), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa
mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan.
C. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN LATAR BELAKANG PUTUSAN TENTANG UU NO. 12 TAHUN 2011
1.
Gambaran Mengenai Mahkamah Konstitusi dan Kewenangannya
Dalam pasal 2 undang-undang no 24
tahun 2003 telah dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
lembaga Negara yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Dapat dikatakan bahwa lembaga
ini merupakan lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir serta putusannya bersifat final. Keberadaan lembaga Mahkamah
Konstitusi ini merupakan fenomena baru dalam dunia ketata negaraan. Hingga saat
ini baru ada 78 negara yang membentuk
mahkamah ini secara tersendiri. Oleh karena itu di Indonesia, dalam
rangka menyempurnakan pelaksanaan reformasi konstitusional yang integral menuju
proses demokratisasi yang sejati, maka sangat penting dibentuknya “Mahkamah
Konstitusi”. Sekaligus untuk menggantikan peran MPR yang terkait dengan fungsi
mahkamah itu, juga memang harus diubah sesuai dengan keinginan zaman.
Dalam
perubahan Ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (2) dinyatakan :
“Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.[15]
Dalam pasal 24C ditentukan:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh President atau wakilnya
menurut UUD.
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh president, yang diajukan masing-masing
tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh President
4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi
dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas
dan kepribadian tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang.[16]
Sesuai ketentuan UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi memiliki beberapa kewenangan, yakni sebagai berikut:[17]
1) Menguji undang-undang terhadap UUD 45
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD
3) Memutus pembubaran partai politik
4) Memutus perselisihan tentang pemilihan umum
5) Memutus pendapat DPR bahwa President atau
wakilnya telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
6) Memutus pendapat DPR bahwa President atau wakilnya
telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai President dan atau wakilnya.
Mahkamah konstitusi ini paling
lambat sudah harus terbentuk pada tanggal 17 agustus 2003. Sebelum Mahkamah
Konstitusi terbentuk sebagaimana mestinya, sesuai ketentuan aturan peralihan
Pasal 3, segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2. Latar Belakang
Putusan
Dalam
kaitannya dengan sisitem norma hokum di Indonesia, maka Tap MPR merupakan salah
satu norma hokum yang secara hirarkis kedudukannya di bawah UUD 1945. Meskipun
secara hirarkhir Tap MPR berada dibawah UUD 1945, namun Tap MPR selain masih
bersifat umum dan garis besar dan belum dilekatkan oleh sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa.
Kemudian baik
UUD 1945 maupun Tap Mpr dibuat atau ditetapkan oleh lembaga yang sama, yakni
MPR. Dalam hubungan ini keberadaan Tap MpR setingkat lebih rendah dari UUD
1945, pada dasarnya bias dipahami dengan mengedepankan fungsi-fungsi yang
dimiliki MPR.
Dalam Konteksnya
dengan system norma hukum Indonesia tersebut, berdasarkan Tap MPRS No. XX/MPRS/199 dalam lampiran II Tentang
Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai
berikut:
- UUD 1945
- Ketetapan MPR
- Undang-undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Pelaksana lainnya; seperti
Peraturan Menteri, Instruksi Mentri dan lain-lainnya.
Demikian pula sama halnya setelah repormasi, Tap Mpr tetap ditempatkan
sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di
bawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis peraturan perundang-undangan.
Hal ini sebagaimana dituangkan dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 yang menyebutkan
tata urutan Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut:
- UUD 1945
- Ketetapan MPR
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah
Dari kedua TAP
MPR tersebut terlihat, bahwa jenis dan tata urutan peraturan
perundang-undangan TAP MPR tetap dipandang sebagai suatu peraturan perundang-undangan
yang penting. Tetapi entah kenapa, keberadaan Tap MPR “dihilangkan”
atau dikeluarkan dari jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di
dalam UU No.10 Tahun 2004. Dalam hubungan ini, UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan
tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
- UUD 1945
- UU/Peraturan Pemerinta Pengganti
Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah
Tidak jelas
apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk UU No. 10 Tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah satu jenis
peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi yuridis tentu kebijakan dari pembentuk UU No. 10 Tahun
2004 tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
norma hukum yang berjenjang, artinya ketentuan UU No 10 Tahun 2004 itu
bertentangan dengan Tap MPR No .III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari UU No. 10 Tahun 2004.
Tetapi yang pasti pembentukkan UU No. 10 Tahun 2004 tersebut sepertinya mengabaikan
keberadaan Tap MPR No.III/MPR/2000, dimana dalam konsideran UU No. 10 Tahun 2004
tidak disebut-sebut TAP MPR No. III/MPR/2000 sebagai salah satu dasar dari pembentukan UU
No. 10 Tahun 2004.
Tetapi anehnya dalam Penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan UU No. 10 Tahun 2004
itu guna memenuhi perintah ketentuan Pasal 6 Tap MPR No. III/MPR/2000 Tentang
Sumber Hukum Tertib Hukum.
Disisi lain, apa yang terjadi pada pembentukkan UU No.10 Tahun 2004 yang
mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana
telah ditetapkan dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 jelas memperlihatkan adanya
ketidak-konsistenan pembentuk UU dalam membentuk suatu UU dengan memperhatikan
ketentuan yang sudah ada, apalagi berupa suatu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi kedudukannya dari UU.
Kekeliruan
mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan
sejak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 itu, akhirnya disadari pembentuk UU. Hal ini
ditandai dengan diundangkannya UU No. 12 Tahun 2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011
lalu yang memaksukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan.
Meskipun UU No. 12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam
konsideran adanya kekurangan pada UU No. 10 Tahun 2004, namun sebenarnya lebih
tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam menyusun dan membentuk UU No. 10 Tahun
2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu
jenis dan dari susunan peraturan perundang-undangan. Dalam hubungan ini UU No. 12 Tahun 2011
menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
- UUD 1945
- Ketetapan MPR
- UU/peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan daerah Propinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.
Dalam UU No 12
Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan
kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan
hukumnya lebih kuat dari UU.
Memahami UU No. 12 Tahun 2011
sebagai pengganti UU No. 10 tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang
terjadi dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia
dibawah UU No. 10 Tahun 2004, khususnya terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan
susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dapat diatasi dan
dikembalikan pada posisi yang benar dan konsistensi terhadap tertib hukum kembali
ditegakkan. Dan hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan UU
No 12 Tahun 2011, bahwa materi UU No. 10 Tahun 2004
banyak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu
kepastian hukum. Tetapi sekali lagi UU No. 12 Tahun 2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya
terdapat materi baru yang diatur, dan materi baru itu disebutkan menambahkan
Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan dan hierarkhinya
ditempatkan dibawah UUD. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan
adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun UU No. 10 Tahun 2004.
Sebab sudah terang adanya dalam TAP MPR No. III/MPR/2000
sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan
yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR
sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011
sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan
pembentuk UU dalam menyusun dan
membentuk UU sebelumnya
yang digantikan UU No 12 tahun 2011.
BAB III
Analisis Peraturan
Perundang-Undangan
NO
|
UU
NO. 10/2004
|
UU
NO. 12/2011
|
ANALISIS
UU
NO. 10/2014
|
ANALISIS
UU
NO. 12/2011
|
1.
|
UUD TAHUN 1945
|
UUD TAHUN 1945
|
Undang-undang dasar 1945 merupakan undang-undang yang mana hukum dasar dari pembentukan
perundang-undangan. Dalam pasal 3 UUD 1945 (MPR ditetapkan menjadi lembaga
yang berwewenang menetapkan UUD yang terdiri dari anggota DPR dan DPD).
Sementara itu, kewenangan MPR untuk
menetapkan produk hukum Ketetapan (TAP) MPR, masih melekat pada lembaga MPR.
Namun TAP tidak lagi menjadi aturan yang berlaku umum sebagai peraturan
perundangan-undangan, TAP hanya pada institusi MPR.
Sedangkan materi muatan UUD 1945
meliputi jaminan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, prinsip-prinsip
dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.
|
Undang-undang
dasar 1945 merupakan peraturan tertinggi serta hukum dasar dari pembentukan
peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas terdapat pada pasal 3 ayat (1),
(2), (3). Undang-undang dasar tidak
pernah diubah karena undang-undang dasar merupakan batang tubuh dari
peraturan atau norma yang lebih tinggi dari peraturan yang lebih rendah. Sedangkan untuk materi muatan Undang-Undang
dasar itu sendiri meliputi
Menjamin semua hak asasi manusia bagi setiap warga
negara, prinsip-prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.
|
2.
|
TAP MPR
|
Kewenangan MPR dimasukan kembali ke dalam hirarki
peraturan perundang-undangan yaitu di dalam UU No. 11 Tahun 2011. MPR di
dalam undang-undang ini merupakan institusi tertinggi setelah undang-undang
dasar TAP MPR diletakan kembali sebelum tidak dimasukan ke dalam
hirarki peraturan-perundangan pada undang-undang nomor 10 tahun 2004
mengingat dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b. bahwa yang dimaksud
dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun
2002, tanggal 7 Agustus 2003 (TAP MPR 1/2003).
|
||
3.
|
Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU)
|
Undang-Undang/ Peratura Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU)
|
Pasal
1 ayat (3) menyebutkan bahwa undang-undang adalah peraturan
perundang-undangan yang di bentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama oleh
presiden. Sejak terjadi amandemen UUD 1945, posisi pengambil inisiatif
pembuatan undang-undang telah berubah, yang semula di dominasi oleh presiden
sekarang berahli ke DPR.
Sedangkan Perpu ditetapkan oleh presiden
dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan oleh UUD 1945. Keberadaan Perpu
itu sendiri hanya berumur satu periode masa sidang untuk selanjutnya di
setujui atau di tolak oleh DPR. Ini terdapat pada pasal 22 UUD 1945 ayat (2)
dan (3) menyatakan bahwa Perpu itu
harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikutnya. Jika tidak
mendapat persetujuan, maka Perpu itu harus dicabut.
Pada TAP
No. III/MPR/2000 secara tegas menyatakan bahwa kedudukan Perpu berada di
bawah Undang-undang. Namun seiring perkembangan zaman kedudukan Perpu di
sejajarkan dengan Undang-undang. Dalam
pasal 9 Materi Muatan Perpu sama
dengan materi muatan undang-undang.
|
Undang-undang
dalam hal ini merupakan peraturan perundangan yang dibentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama oleh presiden.
Jika Undang-undang bertentangan dapat dikenakan sanksi pidana dan di
dalam pasal 9 bahwa jika undang-undang bertentangan dengan undang-undang
dasar dapat dilakukan pengujian di mahkamah konstitusi. Materi muatan
undang-undang sedikit ada penambahan ruang lingkup yaitu materi dapat
dilakukan berdasarkan putusan mahkamah konstitusi. Pasal 10 ayat 2
menjelaskan bahwa putusan mahkamah konstitusi dapat dilakukan oleh DPR atau
Presiden.
Sedangkan
Perpu ditetapkan oleh presiden dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan
oleh undang-undang dasar 1945, untuk materi muatannya perpu sama dengan
materi muatan undang-undang.
|
4.
|
Peraturan Pemerintah (PP)
|
Peraturan Pemerintah (PP)
|
Produk
hukum peraturan pemerintah di bentuk oleh presiden dalam rangka melaksanakan
undang-undang. Ini berarti bahwa peraturan pemerintah harus bersandar pada
satu atau beberapa undang-undang. Peraturan pemerintah tidak boleh
menciptakan atau suatu badan atau wewenang kecuali yang telah diatur dalam
undang-undang.
Peraturan
pemerintah dapat ditetapkan baik berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan
baik berdasarkan ketentuan yang ditegaskan dalam undang-undang dalam hal
penjatuhan sanksi pidana, peraturan pemerintah hanya boleh mencantumkan
sansksi pidana atau sanksi pemaksa lainnya sepanjang sudah ditentukan dalam
undang-undang acuannya.
|
Perencanaan
penyusunan peraturan pemerintah dilakukan dalam suatu program peraturan
pemerintah. Rancangan Peraturan
pemerintah untuk menjalankan suatu undang-undang dapat dijalankan atau
dilakukan dalam masa satu tahun.
Peraturan
pemerintah dapat di tetapkan baik berdasarkan ketentuan dari presiden atau
lembanga yang menaunginya. Dalam keadaan tertentu, kementrian atau lembaga
non kementrian dapat mengajukan rancangan peraturan pemerintah diluar dari
perencanaan penyusunan peraturan pemerintah.Namun peraturan pemeirntah
sendiri dalam undang-undang ini tidak dikenakan sanksi pidana. Materi muatan
peraturan pemerintah berisi undang-undang
|
5.
|
Peraturan Presiden
|
Peraturan Presiden
|
Peraturan presiden sebagai ketentuan
pengaturan (regeling) dan Keputusan Presiden bersifat penetapan
(beschikking). Dalam kaitannya dengan produk hukum peraturan presiden dan keputusan presiden, sulit dipisahkan
antara presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan. Meskipun
demikian, tetap dapat dibedakan dari substansinya muatannya. Materi muatan
peraturan presiden berisi materi materi yang diperintahkan oleh undang-undang
atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. Sebelumya tidak ada
keputusan presiden, oleh karena itu di dalam UU No. 10 Tahun 2004 baru
terbentuk produk hukum peraturan presiden
Eksistensi
Keputusan Presiden di dapat dari pasal
4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
|
Menjalankan
peraturan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan dalam menjalankan
kekuasaan.
Materi
muatan peraturan presiden berisi materi muatan pemerintah atau menjalankan
kekuasaan sebagaimana mestinya Eksistensi Keputusan Presiden di dapat dari pasal 4 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.
|
6.
|
Peraturan Daerah (Perda)
|
Peraturan Daerah (Perda)
|
Ketentuan
tentang Peraturan Daerah memiliki 3 (tiga) tingkatan. Peraturan daerah
propinsi dibuat oleh DPRD Provinsi dibuat oleh DPRD provinsi bersama dengan Gubernur. Pada
tingkatannya di bawahnya ada peraturan Daerah Kabupaten/kota, dibuat oleh
oleh DPRD Kabupaten/kota bersama dengan Bupati/Walikota. Paling bawah
terdapat Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu. Peraturan
ini dibuat oleh Badan Perwakilan Desa
atau nama lain bersama dengan kepala Desa atau nama lain.
Sekalipun ada yang memasukan Peraturan
atau keputusan Gubernur setelah Perda Provinsi, dan peraturan atau keputusan
Bupati/walikota. Lahirnya kembali peraturan desa megingatkan bahwa eksistensi
mengenai desa-desa adat sudah keberadaan sejak jaman kolonial Belanda.
Materi
muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah
serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sedangkan, materi muatan Perdes atau yang setingkat adalah seluruh materi
dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
|
Di dalam undang-undang nomor 12 tahun
2011, peraturan derah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota dipisahkan. Peraturan daerah
provinsi dapat dilakukan dalam prolegda provinsi
Dalam
pengajuan materi muatan dalam perda provinsi dapat dilakukan melalui naskah
awal yaitu naskah akademik. Dalam penyusunan naskah akademik sebelumnya pada
undang-undang nomor 10 tahun 2011,
tidak dijelaskan mengenai format penyusunan naskah akademik, namun
sekarang naskah tersebut sudah ada dalam peraturan perundang-undangan yaitu
mengenai latar belakang, tujuan sasaran serta ruang lingkup
Untuk perda kabupaten/kota dilakukan
dalam prolegda kabupaten/kota. Pengajuannya dalam bentuk naskah akademik
sudah diatur dalam peraturan. Pasal 32 sampai dengan pasal 38 berlaku secara
mutatis mutandis terhadap penyusunan perencanaan peraturan daerah
kabupaten/kota.
|
PENUTUP
Ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis
temukan dalam pembahasan di atas, diantaranya sebagian besar substansi dari Undang-undang
ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 poin-poin perubahan
tersebut antara lain sebagai berikut:
- penambahan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- perluasan cakupan perencanaan Peraturan
Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan
juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan
lainnya
- pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
- pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu
persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
- pengaturan mengenai keikutsertaan
Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam
tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan
- penambahan teknik penyusunan Naskah
Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA
·
Asshiddiqie,
Jimly. 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta:
Rajawali Pers.
·
Farida Indrati S, Maria. 2007, Ilmu Perundang-undangan:
Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius.
·
UU No. 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
·
Tiar Ramon
blog’s, meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, diakses
24 mei 2013.
·
Manan, Bagir. 1992, Dasar-Dasar
Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta.
·
Asshiddiqie, Jimly. 2006, Perihal
Undang-Undang Di Indonesia, Sekretariat Jenderal MK.
·
UU No.12 Tahun 2011
·
Jimly, Asshiddiqie. 2011, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
[1] Konsiderans huruf a
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
2 Jazim Hamidi Budiman, Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dalam Sorotan. (Jakarta: PT Tatanusa, 2005), h. 7.
[4] Jimly
Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.
22.
[5] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan:
Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), h. 12.
[6] Pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
[7] Komentar Atas Artikel Maria Farida Indrati, 2007, Meningkatkan
Kualitas Perundang-Undangan di Indonesia. www.google.com,
diakses 24 Mei 2013
[8] Ibid
[9] Tiar Ramon
blog’s, meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, diakses
24 mei 2013
[10] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia, (Jakarta: 1992), h. 14.
[11] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang Di Indonesia,(Sekretariat
Jenderal MK, 2006), h. 170-174.
[12] Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011
[13] Ibid, Pasal 6
Tiar Ramon Blog, Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan
Di Indonesia, diakses 24 mei 2013
[15] Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.204.
[16] Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika),
2011, h. 204.
[17] Ibid, h. 205.
0 komentar:
Posting Komentar