Selasa, 04 Juni 2013

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, maka negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1]
Pembangunan hukum di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, yang mana sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan menyeluruh terhadap model hukum yang dibentuk sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan menciptakan keadilan serta kepastian hukum. Akibatnya, hukum yang dihasilkan lebih banyak berjalan tidak efektif, karena hukum tersebut dirasa oleh masyarakat tidak mencerminkan aspirasi mereka. Berbagai faktor memengaruhi produk hukum di Indonesia dianggap lebih bersifat represif (menindas) dibandingkan responsif.
Bahwa proses legislasi dengan produk perundang-undangan  bukanlah proses yang steril dari kepentingan politik karena ia merupakan proses politik. Bahkan implementasi perundang-undangan tersebut dikenal dengan sebutan “penegakan hukum” atau “law enforcement”, juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik.
Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik paling sedikit harus memiliki empat landasan, yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, landasan sosiologis serta landasan ekologis.[2]
Dalam hal ini, pemerintah sebagai lembaga resmi yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk membentuk undang-undang harus jeli melihat permasalahan atau problematika pembentukan peraturan perundang-undangan yang berulang kali berada pada titik permasalahan yang sama. Bagaimanapun pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi hak asasi manusia umumnya, hak asasi warga negaranya secara khusus. Besar harapan warga negaranya untuk terciptanya rasa keadilan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat tunduk secara sukarela terhadap aturan yang dibuat oleh penguasa.
Pada tanggal 12 Agustus 2011, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No. 82 diundangkannya UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
            Apabila kita soroti pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang isinya mengenai jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas:[3]
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi dan
g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
            Maka yang dapat kita lihat adalah bahwa terdapat tiga hal yang berubah apabila kita bandingkan dengan jenis hirarki Peraturan Perundang-undangan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004 yaitu masuknya kembali Ketetapan MPR, Peraturan Daerah yang memiliki tingkatan antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang pada undang-undang sebelumnya adalah sejajar, serta yang terakhir dihapuskannya Peraturan Desa dari Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang sebelumnya peraturan desa tercantum dalam pasal 7 ayat (1) sebagai bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan. Secara hirarki, maka secara tidak langsung terkait dengan persoalan rugulasi dan implementasi otonomi daerah. Persoalan ini tentu menjadi masalah.
            Suatu hal yang baru dalam UU No. 12/2011 adanya peraturan lain dari jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MK, BPK, KY, BI, Mentri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setinggkat yang dibentuk dengan undang-undang. DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kedudukan dan kekuatan hokum dari peraturan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga/instansi diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
              Dari berbagai masalah yang ada, lalu kemudian mendorong penulis untuk mengkaji dan meneliti lebih jauh dalam karya tulis ini yang mungkin akan memberikan pengetahuan yang  baru bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Adapun karya tulis yang penulis buat berjudul: “IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lingkup Pengertian Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam UU 1945, tidak terang apa lingkup batasan pengertian undang-undang. Pasal 20 UUD 1945 hanya menyebut kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama dengan pemerintah. Pasal 24C ayat (1) hanya menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenanng menguji undang-undnag terhadap UUD.
Undang-Undang dalam arti sempit adalah “legislative act” atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif, Dalam arti luas undang-undang dapat dipahami sebagai naskah hukum, yang menyangkut materi dan bentuk tertentu.[4] Yang membedakan sehingga naskah hukum tertulis tersebut disebut sebagai “legislative act” bukan “executive act”adalah karena dalam pembentukannya, peranan lembaga legislatif sangat menentukan keabsahan materiil peraturan yang dimaksud.
Mengenai regulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan. Regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum.[5] Ruang lingkup peraturan perundang-undangan telah ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebelum direvisi kedalam UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1). Dalam Pasal 7 Ayat (1) disebutkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta Peraturan Daerah.[6]
Ada beberapa tolak ukur dalam menilai apakah peraturan perundang-undangan baik atau tidak. Tolak ukur atau indikator diperlukan untuk menemukan jawaban permasalahan dalam meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan. Menurut Zamrony, tolak ukur bagus tidaknya suatu produk hukum dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain:[7]
1.    Partisipasi publik dalam proses legislasi
2.    Merepresentasikan kepentingan public
3.    Tingkat efisiensi anggaran dan tingkat efisiensi waktu
4.    Dapat disesuaikan (harmonisasi dan sinkronisasi) dengan produk hukum di lain  sektor (lintas sektoral)
5.    Tidak mengandung cacat hukum
6.    Bertahan dalam jangka waktu yang lama karena tidak banyak digugat substansi isinya.
Pendapat lain yang juga penulis kutip adalah pendapat Syahrul, menurutnya banyak hal yang terlupakan dalam menghasilkan sebuah produk hukum yang baik, yaitu:[8]
1. Azas Kepastian Hukum
 Selama ini kita lihat bagaimana komentar masyarakat awam tentang hukum itu sendiri bahwa Hukum hanya diperuntukkan bagi mereka yang awam, sedangkan golongan tertentu dalam masyarakat dengan bebasnya mereka melanggar, bahkan mereka dapat memesan klausul-klausul tertentu untuk melindungi kepentingan mereka, artinya kepastian hukum itu hanya berlaku bagi mereka yang awam tentang hukum.
2. Azas Manfaat
 Merujuk komentar pertama di atas, sebaliknya hukum itu hanya bermanfaat bagi   mereka yang memiliki kepentingan dengan aturan yang akan diberlakukan.
3. Azas Keadilan
   Keadailan  di sini bukan adil bagi golongan tertentu, tetapi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

B.     Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Berbagai cara dapat ditempuh agar pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dicapai. Selain berlandaskan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan.Peningkatan kualitas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:[9]
1.      Kajian yang baik
2.      Pemahaman tentang materi muatan peraturan perundang-undangan
3.      Pemahaman tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
4.      Peran serta masyarakat
5.      Harmonisasi dan Sinkronisasi
6.      Pemakaian bahasa yang tepat
7.      Substansi Peraturan Perundang-undangan
Dan beberapa hal di atas akan penulis jelaskan di bawah ini:

1.      Landasan, Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
Pengujian peraturan perundang-undangan yang diajukan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, kebanyakan terjadi karena alasan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sesuai dengan landasan dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, begitu juga dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan tidak mencerminkan nilai keadilan dalam masyarakat.
Menurut Bagir Manan, ada 3 (tiga) landasan dalam menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu: landasan yuridis, landasan filosofi, dan landasan sosiologis.[10] Disamping itu menurut Jimly Asshiddiqie ada 5 (lima) landasan pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni:[11]
1.    Landasan filosofis
Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak diarahkan.
2.    Landasan Sosiologis
Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat.
3.    Landasan Politis
Dalam konsiderans harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan.


4.    Landasan Yuridis
Dalam perumusan setiap undang-undang, landasan yuridis haruslah ditempatkan dalam konsiderans “ mengingat.
5.    Landasan Administratif
Dasar ini bersifat fakultatif sesuai dengan kebutuhan, terdapat dalam konsiderans dengan kata “ memperhatikan”. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif.
Asas-asas formil pembentukan peraturan perundang-undangan:[12]
a.       Kejelasan tujuan
b.      Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
c.       Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan
d.      Dapat dilaksanakan
e.       Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f.       Kejelasan rumusan
g.      Keterbukaan
      Sedangkan asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut:[13]
a.       Pengayoman
b.      Kemanusiaan
c.       Kebangsaan
d.      Kekeluargaan
e.       Kenusantaraan
f.       Bhinneka Tunggal Ika
g.      Keadilan
h.      Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i.        Ketertiban dan kepastian hokum
j.        Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Meskipun secara teori dan peraturan perundang-undangan telah mengatur secara tegas mengenai landasan dan asas peraturan perundang-undangan yang baik, namun tidak jarang kita temui adanya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan yang baik. Alhasil, bermunculan gugatan pengujian formil maupun materil terhadap peraturan perundang-undangan yang telah disahkan dan diundangkan oleh pemerintah.
2.      Kajian Penelitian atau Naskah Akademik
Mengutip pendapat Zamrony sebelumnya, yang dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya peraturan perundang-undangan, diantaranya: partisipasi publik dalam proses legislasi, merepresentasikan kepentingan publik, dapat disesuaikan (harmonisasi dan sinkronisasi) dengan produk hukum di lain sektor (lintas sektoral), bertahan dalam jangka waktu yang lama karena tidak banyak digugat substansiisinya. Maka untuk mencapai tolak ukur ini dapat dilakukan melalui naskah akademik.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa naskah akademik, yaitu :
Naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, naskah akademik tidak merupakan suatu keharusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, dengan digantinya UU No. 10 Tahun 2004 dengan UU No. 12 Tahun 2011, maka naskah akademik merupakan suatu keharusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, kecuali dalam peraturan tertentu. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 43 Ayat (3) :
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertai dengan Naskah Akademik”.
Ayat (4), berbunyi :
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai:
a.    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
b.    Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang
c.    Pencabutan Undang-Undang atau Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Dengan adanya naskah akademik dari setiap rancangan undang-undang diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai hasil penelitian ilmiah yang akan mendasari RUU yang kelak akan diajukan dan dibahas di DPR. Naskah akademik memperlihatkan, bahwa suatu rancangan undang-undang tidak disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang mendadak atau bukan dari pemikiran yang mendalam. Melainkan dari  penelitian yang mendalam dan perenungan yang matang.
Naskah akademik juga berperan sebagai alat kontrol dalam menentukan kualitas suatu produk hukum dan akan memberi arah kepada pemangku kepentingan dan perancang dalam mengambil kebijakan dan acuan untuk dapat menentukan apa yang akan diatur dan diterjemahkan kedalam kalimat hukum. Namun, praktiknya selama ini naskah akademik terkadang hanya dijadikan pesanan belaka dan syarat formil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga naskah akademik yang dibuat tidak hasil kajian penelitian yang mendalam. Wajar sekiranya, rancangan undang-undang yang dibuat tidak maksimal sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3.      Partisipasi Publik/ Peran serta masyarakat
Berdasarkan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011, masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana masukan tersebut dapat dilakukan melalui:
a.    Rapat dengar pendapat umum
b.    Kunjungan kerja
c.    Sosialisasi
d.   Seminar, lokakarya dan diskusi
Melalui partisipasi publik diharapkan peraturan perundang-undangan akan memiliki kelebihan dalam hal efektifitas keberlakuan di dalam masyarakat. Selain itu, partisipasi juga memberikan legitimasi atau dukungan politik dari masyarakat terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan. DPR sebagai lembaga yang memegang fungsi legislasi dituntut untuk membuka pintu yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.
4.      Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan
Salah satu yang dapat dijadikan tolak ukur baik atau tidaknya kualitas peraturan perundang-undangan adalah harmonisasi dan sinkronisasi pembentukan peraturan perundang-undangan.Harmonisasi menurut Moh. Hasan Wargakusumah,[14] harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan (justice), kesebandingan (equity), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan.
C.    PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN LATAR BELAKANG PUTUSAN TENTANG UU NO. 12 TAHUN 2011

1.      Gambaran Mengenai Mahkamah Konstitusi dan Kewenangannya    
Dalam pasal 2 undang-undang no 24 tahun 2003 telah dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.  Dapat dikatakan bahwa lembaga ini merupakan lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi ini merupakan fenomena baru dalam dunia ketata negaraan. Hingga saat ini baru ada 78 negara yang membentuk  mahkamah ini secara tersendiri. Oleh karena itu di Indonesia, dalam rangka menyempurnakan pelaksanaan reformasi konstitusional yang integral menuju proses demokratisasi yang sejati, maka sangat penting dibentuknya “Mahkamah Konstitusi”. Sekaligus untuk menggantikan peran MPR yang terkait dengan fungsi mahkamah itu, juga memang harus diubah sesuai dengan keinginan zaman.
Dalam perubahan Ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (2) dinyatakan :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.[15]
Dalam pasal 24C ditentukan:
1)   Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
2)   Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh President atau wakilnya menurut UUD.
3)   Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh president, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh President
4)   Ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
5)   Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara
6)   Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.[16]
Sesuai ketentuan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa kewenangan, yakni sebagai berikut:[17]
1)      Menguji undang-undang terhadap UUD 45
2)      Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
3)      Memutus pembubaran partai politik
4)      Memutus perselisihan tentang pemilihan umum
5)      Memutus pendapat DPR bahwa President atau wakilnya telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
6)      Memutus pendapat DPR bahwa President atau wakilnya telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai President dan atau wakilnya.
Mahkamah konstitusi ini paling lambat sudah harus terbentuk pada tanggal 17 agustus 2003. Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagaimana mestinya, sesuai ketentuan aturan peralihan Pasal 3, segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2.      Latar Belakang Putusan
Dalam kaitannya dengan sisitem norma hokum di Indonesia, maka Tap MPR merupakan salah satu norma hokum yang secara hirarkis kedudukannya di bawah UUD 1945. Meskipun secara hirarkhir Tap MPR berada dibawah UUD 1945, namun Tap MPR selain masih bersifat umum dan garis besar dan belum dilekatkan oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. 
Kemudian baik UUD 1945 maupun Tap Mpr dibuat atau ditetapkan oleh lembaga yang sama, yakni MPR. Dalam hubungan ini keberadaan Tap MpR setingkat lebih rendah dari UUD 1945, pada dasarnya bias dipahami dengan mengedepankan fungsi-fungsi yang dimiliki MPR.
Dalam Konteksnya dengan system norma hukum Indonesia tersebut, berdasarkan Tap MPRS No. XX/MPRS/199 dalam lampiran II Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebagai berikut:
  1. UUD 1945
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan Pelaksana lainnya; seperti Peraturan Menteri, Instruksi Mentri dan lain-lainnya.
Demikian pula sama halnya setelah repormasi, Tap Mpr tetap ditempatkan sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UUD 1945, walaupun ada perubahan atas jenis peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 yang menyebutkan tata urutan Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut:
  1. UUD 1945
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah
Dari kedua TAP MPR tersebut  terlihat, bahwa jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan TAP MPR tetap dipandang sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang penting. Tetapi entah kenapa, keberadaan Tap MPR “dihilangkan” atau dikeluarkan dari jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di dalam UU No.10 Tahun 2004. Dalam hubungan ini, UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
  1. UUD 1945
  2. UU/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah
Tidak jelas apa yang menjadi pertimbangan dari pembentuk UU No. 10 Tahun 2004 tidak memasukkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Dari sisi yuridis tentu kebijakan dari pembentuk UU No. 10 Tahun 2004  tentulah suatu kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip norma hukum yang berjenjang, artinya ketentuan UU No 10 Tahun 2004 itu bertentangan dengan Tap MPR No .III/MPR/2000 yang berkedudukan lebih tinggi dari UU No. 10 Tahun 2004. Tetapi yang pasti pembentukkan UU No. 10 Tahun 2004 tersebut  sepertinya mengabaikan keberadaan Tap MPR No.III/MPR/2000, dimana dalam konsideran UU No. 10 Tahun 2004 tidak disebut-sebut  TAP MPR No. III/MPR/2000 sebagai salah satu dasar dari pembentukan UU No. 10 Tahun 2004. Tetapi anehnya dalam Penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan UU No. 10 Tahun 2004 itu  guna memenuhi perintah ketentuan  Pasal 6 Tap MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Tertib Hukum.

Disisi lain, apa yang terjadi pada pembentukkan UU No.10 Tahun 2004 yang mengeluarkan Tap MPR dari tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 jelas memperlihatkan adanya ketidak-konsistenan pembentuk UU dalam membentuk suatu UU dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada, apalagi berupa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dari UU.

Kekeliruan mengeluarkan Tap MPR dari jenis dan tata susunan peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 itu, akhirnya disadari pembentuk UU. Hal ini ditandai dengan diundangkannya UU No. 12 Tahun 2011 yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2011 lalu yang memaksukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.
Meskipun UU No. 12 Tahun 2011 dalam pertimbangannya menyebutkan dalam konsideran adanya kekurangan pada UU No. 10 Tahun 2004, namun sebenarnya lebih tepat kalau disebut adanya kekeliruan dalam menyusun dan membentuk UU No. 10 Tahun 2004, khususnya berkaitan dengan dikeluarkannya Tap MPR sebagai salah satu jenis dan dari susunan peraturan perundang-undangan.  Dalam hubungan ini UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
  1. UUD 1945
  2. Ketetapan MPR
  3. UU/peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan daerah Propinsi
  7. Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.
Dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU.
Memahami UU No. 12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No. 10 tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang terjadi dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibawah UU No. 10 Tahun 2004, khususnya terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi yang benar dan konsistensi terhadap tertib hukum kembali ditegakkan. Dan hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan UU No 12 Tahun 2011, bahwa materi  UU No. 10 Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum. Tetapi sekali lagi UU No. 12 Tahun 2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya terdapat materi baru yang diatur, dan materi baru itu disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan dan hierarkhinya ditempatkan dibawah UUD. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun UU No. 10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk UU dalam menyusun dan membentuk UU sebelumnya yang digantikan UU No 12 tahun 2011.
















BAB III
Analisis Peraturan Perundang-Undangan

NO
UU NO. 10/2004
UU NO. 12/2011
ANALISIS
UU NO. 10/2014
ANALISIS
UU NO. 12/2011





1.





UUD TAHUN 1945





UUD TAHUN 1945
      Undang-undang dasar 1945 merupakan  undang-undang yang mana  hukum dasar dari pembentukan perundang-undangan. Dalam pasal 3 UUD 1945 (MPR ditetapkan menjadi lembaga yang berwewenang menetapkan UUD yang terdiri dari anggota DPR dan DPD).
      Sementara itu, kewenangan MPR untuk menetapkan produk hukum Ketetapan (TAP) MPR, masih melekat pada lembaga MPR. Namun TAP tidak lagi menjadi aturan yang berlaku umum sebagai peraturan perundangan-undangan, TAP hanya pada institusi MPR.
      Sedangkan materi muatan UUD 1945 meliputi jaminan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, prinsip-prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.

Undang-undang dasar 1945 merupakan peraturan tertinggi serta hukum dasar dari pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas terdapat pada pasal 3 ayat (1), (2), (3).  Undang-undang dasar tidak pernah diubah karena undang-undang dasar merupakan batang tubuh dari peraturan atau norma yang lebih tinggi dari peraturan yang lebih rendah.  Sedangkan untuk materi muatan Undang-Undang dasar itu sendiri meliputi
Menjamin semua hak asasi manusia bagi setiap warga negara, prinsip-prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.



2.




TAP MPR


 Kewenangan MPR  dimasukan kembali ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan yaitu di dalam UU No. 11 Tahun 2011. MPR di dalam undang-undang ini merupakan institusi tertinggi setelah undang-undang dasar  TAP MPR diletakan  kembali sebelum tidak dimasukan ke dalam hirarki peraturan-perundangan pada undang-undang nomor 10 tahun 2004 mengingat dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b. bahwa yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.           
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003 (TAP MPR 1/2003).

3.
Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Undang-Undang/ Peratura Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang di bentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama oleh presiden. Sejak terjadi amandemen UUD 1945, posisi pengambil inisiatif pembuatan undang-undang telah berubah, yang semula di dominasi oleh presiden sekarang berahli ke DPR.
     Sedangkan Perpu ditetapkan oleh presiden dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan oleh UUD 1945. Keberadaan Perpu itu sendiri hanya berumur satu periode masa sidang untuk selanjutnya di setujui atau di tolak oleh DPR. Ini terdapat pada pasal 22 UUD 1945 ayat (2) dan (3)  menyatakan bahwa Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikutnya. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Perpu itu harus dicabut.
      Pada TAP No. III/MPR/2000 secara tegas menyatakan bahwa kedudukan Perpu berada di bawah Undang-undang. Namun seiring perkembangan zaman kedudukan Perpu di sejajarkan  dengan Undang-undang. Dalam pasal 9 Materi  Muatan Perpu sama dengan materi muatan undang-undang.
Undang-undang dalam hal ini merupakan peraturan perundangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama oleh presiden.  Jika Undang-undang bertentangan dapat dikenakan sanksi pidana dan di dalam pasal 9 bahwa jika undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar dapat dilakukan pengujian di mahkamah konstitusi. Materi muatan undang-undang sedikit ada penambahan ruang lingkup yaitu materi dapat dilakukan berdasarkan putusan mahkamah konstitusi. Pasal 10 ayat 2 menjelaskan bahwa putusan mahkamah konstitusi dapat dilakukan oleh DPR atau Presiden.
        Sedangkan Perpu ditetapkan oleh presiden dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang dasar 1945, untuk materi muatannya perpu sama dengan materi muatan undang-undang.




4.




Peraturan Pemerintah (PP)




Peraturan Pemerintah (PP)





Produk hukum peraturan pemerintah di bentuk oleh presiden dalam rangka melaksanakan undang-undang. Ini berarti bahwa peraturan pemerintah harus bersandar pada satu atau beberapa undang-undang. Peraturan pemerintah tidak boleh menciptakan atau suatu badan atau wewenang kecuali yang telah diatur dalam undang-undang.
       Peraturan pemerintah dapat ditetapkan baik berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan baik berdasarkan ketentuan yang ditegaskan dalam undang-undang dalam hal penjatuhan sanksi pidana, peraturan pemerintah hanya boleh mencantumkan sansksi pidana atau sanksi pemaksa lainnya sepanjang sudah ditentukan dalam undang-undang acuannya.

Perencanaan penyusunan peraturan pemerintah dilakukan dalam suatu program peraturan pemerintah. Rancangan  Peraturan pemerintah untuk menjalankan suatu undang-undang dapat dijalankan atau dilakukan dalam masa satu tahun.
       Peraturan pemerintah dapat di tetapkan baik berdasarkan ketentuan dari presiden atau lembanga yang menaunginya. Dalam keadaan tertentu, kementrian atau lembaga non kementrian dapat mengajukan rancangan peraturan pemerintah diluar dari perencanaan penyusunan peraturan pemerintah.Namun peraturan pemeirntah sendiri dalam undang-undang ini tidak dikenakan sanksi pidana. Materi muatan peraturan pemerintah berisi undang-undang







5.







Peraturan Presiden







Peraturan Presiden
      Peraturan presiden sebagai ketentuan pengaturan (regeling) dan Keputusan Presiden bersifat penetapan (beschikking). Dalam kaitannya dengan produk hukum peraturan presiden  dan keputusan presiden, sulit dipisahkan antara presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan. Meskipun demikian, tetap dapat dibedakan dari substansinya muatannya. Materi muatan peraturan presiden berisi materi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. Sebelumya tidak ada keputusan presiden, oleh karena itu di dalam UU No. 10 Tahun 2004 baru terbentuk produk hukum peraturan presiden
     Eksistensi Keputusan Presiden  di dapat dari pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Menjalankan peraturan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan dalam menjalankan kekuasaan.
        Materi muatan peraturan presiden berisi materi muatan pemerintah atau menjalankan kekuasaan sebagaimana mestinya Eksistensi Keputusan Presiden  di dapat dari pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

6.

Peraturan Daerah (Perda)

Peraturan Daerah (Perda)
Ketentuan tentang Peraturan Daerah memiliki 3 (tiga) tingkatan. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh DPRD Provinsi dibuat oleh DPRD  provinsi bersama dengan Gubernur. Pada tingkatannya di bawahnya ada peraturan Daerah Kabupaten/kota, dibuat oleh oleh DPRD Kabupaten/kota bersama dengan Bupati/Walikota. Paling bawah terdapat Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu. Peraturan ini  dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lain bersama dengan kepala Desa atau nama lain.
      Sekalipun ada yang memasukan Peraturan atau keputusan Gubernur setelah Perda Provinsi, dan peraturan atau keputusan Bupati/walikota. Lahirnya kembali peraturan desa megingatkan bahwa eksistensi mengenai desa-desa adat sudah keberadaan sejak jaman kolonial Belanda.
       Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan, materi muatan Perdes atau yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
     Di dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011, peraturan derah provinsi dan peraturan daerah  kabupaten/kota dipisahkan. Peraturan daerah provinsi dapat dilakukan dalam prolegda provinsi
Dalam pengajuan materi muatan dalam perda provinsi dapat dilakukan melalui naskah awal yaitu naskah akademik. Dalam penyusunan naskah akademik sebelumnya pada undang-undang nomor 10 tahun 2011,  tidak dijelaskan mengenai format penyusunan naskah akademik, namun sekarang naskah tersebut sudah ada dalam peraturan perundang-undangan yaitu mengenai latar belakang, tujuan sasaran serta ruang lingkup
      Untuk perda kabupaten/kota dilakukan dalam prolegda kabupaten/kota. Pengajuannya dalam bentuk naskah akademik sudah diatur dalam peraturan. Pasal 32 sampai dengan pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan perencanaan peraturan daerah kabupaten/kota.
     


























PENUTUP
Ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis temukan dalam pembahasan di atas, diantaranya sebagian besar substansi dari Undang-undang ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 poin-poin perubahan tersebut antara lain sebagai berikut:
  1. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya
  3. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
  4. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
  5. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan
  6. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.











DAFTAR PUSTAKA
·         Asshiddiqie, Jimly. 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers.
·         Farida Indrati S, Maria. 2007, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius.
·         UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
·         www.google.com
·         Tiar Ramon blog’s, meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, diakses 24 mei 2013.
·         Manan, Bagir. 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia, Jakarta.
·         Asshiddiqie, Jimly. 2006, Perihal Undang-Undang Di Indonesia, Sekretariat Jenderal MK.
·         UU No.12 Tahun 2011
·         Jimly, Asshiddiqie. 2011, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.



























[1] Konsiderans huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2 Jazim Hamidi Budiman, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Sorotan. (Jakarta: PT Tatanusa, 2005), h. 7.


[3]Pasal 7 (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


[4] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 22.
[5] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 12.
[6] Pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[7] Komentar Atas Artikel Maria Farida Indrati, 2007, Meningkatkan Kualitas Perundang-Undangan di Indonesia. www.google.com, diakses 24 Mei 2013
[8] Ibid
[9] Tiar Ramon blog’s, meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, diakses 24 mei 2013
[10] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan di Indonesia, (Jakarta: 1992), h. 14.
[11] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang Di Indonesia,(Sekretariat Jenderal MK, 2006), h. 170-174.
[12] Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011
[13] Ibid, Pasal 6

Tiar Ramon Blog, Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia, diakses 24 mei 2013


[15] Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.204.
[16] Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2011, h. 204.
[17] Ibid, h. 205.

0 komentar:

Posting Komentar